Peran Santri Memperjuangkan Negeri
Fakta menunjukkan dalam rombongan pasukan Inggris yang mendarat di Jakaerta pada September 1945 terdapat dua tokoh Belanda Dr. H. Van Mook dan Van der Plas, serta nenerapa perwira Belanda. Dapat disimpulkan misi Inggris itu telah dimanfaatkan dan dimotori oleh Belanda.
Bangsa Indonesia sadar bahwa kemerdekaan yang baru lahir sudah memasuki dalam ancaman. Untuk menangkal dan melawann hal ini maka dibutuhkan ketersediaan senjata dan tenaga-tenaga yang bisa mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia yang masih muda itu. Upaya pun kini dilakukan dengan merebut senjata-senjata milik Jepang, maka terjadi aksi perebutan senjata di berbagai kota dan sebagian besar tentara Jepang menyerahkan senjatanya dengan sukarela, memberikan senjtanya walaupun menolak keras atas perebutan senjatanya dengan cara kekerasan.
Bentrokan antara pasukan Inggris dengan pemuda revolusioner menjadikan pecah belah di beberapa tempat. Tapi dari beberapa ketegangan dan bentrokan itu, peristiwa yang terjadi di Surabaya merupakan bentrokan paling besar dalam sejarah. Dari insiden bentrokan dan pertempuran di Surabaya dari sekian santri dan pesantren ikut andil yang sangat besar pula dalam mempertahankan kota Surabaya dari serbuan pasukan Inggris.
Dalam buku Agus Salim Fatta yang berjudul “Pesantren Membangun Bangsa: Menhuju Kemadirian dan Ketahanan”. Pertempuran di Surabaya bermula kedatangan pasukan inggris yang tergabung dalam Brigade 49 di Bawah pimpinan Brigadir Jenderal AWS. Mallaby. Semula kedatangan mereka disambut dengan baik oleh rakyat dan pemuda Surabaya. Untuk itu keduanya setuju untuk terikat dalam satu kesepakatan untuk tidak mengganggu tugas masing-masing. Realita yang ada, pihak Inggris ingkar janji karena pada 26 Oktober 1945 mereka melakukan penyrgapan terhadap penjara Kalisosok dan membeaskan orang-orang Belanda yang ditahan di penjara itu. Maka meletuslah bentrokan-bentrokan lainnya. Hanya karena campur tangan Presiden Soekarno yang sanggup meredam kemarahan rakyat Surabaya hingga antara pihak Inggris dan Surayabaya tercapai kesepakatan.
Tapi kesepakan dan kedamaiana itu tidak berjalan lama karena pada tanggal 30 Otober 1945 pertembpuran-pertempuran terjadi lagi, dalam peristiwa Brigjen Mallaby tewas di Gedung Internatio. Insiden itu pihak Inggris merasa malu, juga marah besar dan mengeluarkan ancaman dan ultimatum yang ditujukan langsung kepada para bersenjata dan pemimpin RI yang berada di Surabaya.
Apabila pihak Surabaya tidak menyerah pada tanggal 10 Nopember 1945, maka kota tersebut akan diserang oleh pasukan Inggris bair melalui darat, laut dan udara. Tuntutan itu ternyata tidak membuat takut, dengan ancaman itu melainkan pihak Surabaya memilih bertempur menghadapi pasukan Inggris.
Peran Kiyai dan santri dari kalangan pesantren-pesantren yang dinaungi oleh pimpinan KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945. Yang mana dalam fatwanya tersebut bahwa perang membela Tanah Air Indonesia merupakan perang suci.
Dijelaskan juga oleh Agus Salim Fatta dalam bukunya tersebut, tidak lama fatwa itu dikeluarkan Pemuda Sutomo segera datang berkonsultasi guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Pemuda Sutomo atau Bung Tomo, pemimpin dari Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) dengan berpegang teguh keapad fatwa dari tokoh kharismatik pesantren, KH. Hasyim Asy’ari, kemudian mengucapkan pidato berapi-api melalui radio BPRI.
Dari kalangan santri yang merupakan bagian terbesar dalam barisan pemuda revolusioner, untuk meminta fatwa kapada para pimpinan pesantren melalui Kiyai guna mengambil sikap agar mengetahui apa yang harus diambil dalam menghadapi ancaman Inggris. Pemuda revokusioner tersebut yang mana dari kalangan santri terbesar memilih analisis Max Weber bahwa kepemimpinan tokoh agama adalah kepemimpinan kharismatik yang berporos pada personal laedership. Mereka dari salah satu pemuda revolusioner menunjukkan bahwa, kepemimpinan para tokoh agama yang berporos pada personal laedership adalan kompetensi Kiyai dalam bidang agama menempatkan sebagai penggerak atau pemegang otoritas suci dalam beragama sehingga fatwa dan nasehatnya selalu dijaikan preferensi untuk sebuah landasan berpikir dan bertindak.
Tanggal 10 Nopember 1945, pihak Inggris membuktikan ancamannya kepada pihak Surabaya. Yang mana militer Inggris lumayan besar jumlahnya dengan mengerahkana ribuan pasukan, dari beberapa kapal perang, puluhan tank dan kendaraan militer lainnya baik pesawaat pembom modern untuk strategi menyerang hingga membombardir Kota Surabata yang kini telah ditinggalkan oleh penduduk wanita serta anak-anak. Pemuda revolusioner yang meliputi laskar santri dan laskar-laskar kesatuan lainnya memenuhi Kota Surabaya.
Agus Salim Fatta menyatakan, meski kalah dalam persenjataan para laskar dan pemuda dengan gigih dan bersemangat mempertahankan Kota Surabaya itu. Dalam pertempuran pekikan-pekikan dan teriakan-teriakan menyebutkan “Allahu Akbar” dan “Merdeka” menyatu dengan desingan peluru dan dentuman bom untuk membangkitkan semangat perlawanan. Dalam kurun waktu tiga minggu Kota Surabaya benar-benar menjadi ajang pertempuran paling besar yang pernah terjadi dalam sejarah Revolusi Kemerdekaan.
Disebutkan oleh William Federick dalam bukunya Pandangan dan Gejolak; Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926 - 1946), disebutkan bahwa dalam tiga hari pertama ofensif pasukan Inggris saja telah menjatuhkan 500 bom dari pesawat-pesawat pembom Inggris. Merian-meriam mereka juga telah membuat lubang-lubang besar dan merusak kawasan pemukiman dan perdagangan di Surabaya ditengah kegigihan bertempur dari barisan laskar santri dan pemuda yang mempertahankan Kota Surabaya tersebut.
Memang tidak bisa dipungkiri lagi, bahwasannya peran santri di Bangsa Indonesia untuk memperjuangkan revolusi Indonesia sangat ikut andil dan bersama-sama mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Dan juga selayaknya Presiden Negara Republik Indonesia yang ke-7 yakni Presiden Joko Widodo melayangkan Keputusan Presiden (Keppres) meresmikan dan menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Dan pentapan Hari Santri Nasional tentu tidak mengurangi, apalagi menafikan nilai patriotisme dan heroisme tokoh-tokoh lain dalam insiden sejarah tersbut.
*Oleh : Aminullah (Mahasiswa IAI Al-Qolam Malang)
Santri memang banyak peran dan kontribusi nya terhadap negeri
ReplyDeleteSun-tri
ReplyDelete